Oleh Mochamad Ziaulhaq dan Ki Hasan di Pustaka Sunda
Kawitan anoe
digoerit,
didanding
dikarang témbang,
manawi djadi
katembong,
ari nganggo
génding témbang,
kaanggo
landing bingbang,
manawi djadi
panjamboeng,
dongeng
baheula dikarang.
Malah mandar
jadi résmi,
Ieu tjarita
utama,
Lalakonna
langkoeng rame,
Anu
disarabét ama,
Ku sadaya
djéléma,
Oerang
Bandoeng prantos bakoe,
Njébut ama
Raksapradja.
Hanjakal
moen teu didangding,
Noe endah
matak ngahoedang,
Sakitu saena
dongeng,
Tjarios
djalma garandang,
Noe sédja
ngabar pédang,
Noe rek
ngandih menak Bandoeng,
Geus masher
pisan asmana.
(
Asmarandana )
WAWACAN
KARAMAN
_______________________
Muhammad
Ziaulhaq
Anoe katjatoer mimiti …
Boeboeka ieu
tjarita …
Kisah dalam
naskah Rasiah Priangan ini terjadi ketika nagri Bandung dipimpin oleh
Kanjeng Adipati Wiranata Koesoema. Putra dari Dalem Bintang, seorang Dalem
Karanganyar. Kepribadian Dalem Bandung sangat bijak bestari, adil, sabar, dan
shaleh. Giat beribadah, selalu memuji Gusti dengan berbagai puji-pujian.
Menyembah kepada Yang Maha Mulya, Gusti Allah Yang Agung, serta selalu
bershalawat kepada Rasulullah saw. Kanjeng Dalem sangatlah kaya. Banyak uang
banyak sandang-pangan. Hewan ternak tak terhitung. Sapi, Kerbau, Kuda, Kambing,
Ayam, Entog, Bebek, dan Angsa.
Pada masa
itu Patih Bupati dijabat Raden Aria Angga Adikoesoemah. Dengan kepribadian
gagah dan berkesan. Bijaksana nan budiman. Beristri Ayu Simbar. Seorang Patih
turunan Dalem Gajah. Patih yang sangat setia, patuh, dan taat kepada perintah
Dalem.
Jurutulis
Patih dijabat oleh Raden Djajakoesoemah yang gagah dan berkesan, paling pintar
di masanya. Pasih berbicara dan menarik dalam tutur kata. Jurutulis pandai
membujuk manis, sedap dalam pengucapan, dan baik budi.
Ketika itu
Bandung diperintah oleh Asisten Residen Nagel. Dia memerintah Bandung sampai
akhir hidupnya. Nagri Bandung maju, gemah ripah tur raharja.
Jalan-jalan diatur rapih. Saluran air dibangun. Tegalan dan pedataran dibuka,
dibersihkan dan dirapihkan.
Komandan
prajurit dijabat oleh Raden Mertadiradja. Seorang Letnan Perang. Senapati nagri
Bandung, membawahi seratus prajurit. Berperawakan tinggi, pemberani, berjanggut
lebat, dan berkumis tebal. Ditakuti para prajurit.
Sersannya
seorang Belanda bernama Tuan Reijs.
Prajurit Sunda
bernama Ki Martagoena, dan kopralnya bernama Mastaredja.
Pimpinan
yang mengepalai pulau Jawa adalah Raden Djajapoespita, menak dari Jawa Timur.
Jaksa nagri
Bandung yang memimpin kepolisian adalah Raden Demang Mangoennagara yang
mengurusi keadilan di nagri Bandung. Penghulu Agung di Bandung, bernama
Raden Ardi, pemimpin keagamaan bernama Raden Haji Abdurrahman.
Jurutulis
kantor Bupati bernama Ki Tumenggung Raden Adinagara, yang berbudi dan tidak
pernah mengecewakan. Pengurus Bende di Paseban adalah Ki Lengser Pa Sawali,
berpangkat paling kecil, yang mengumumkan semua perintah Bupati. Kumetir Kopi
dijabat oleh Den Mandoeraredja. Mantri dalam nagri dijabat oleh Den
Sastranagara putra Kanjeng Adipati Wiranata Koesoema.
Wedana
Rongga bernama Mas Kétapraja. Wedana Cihea bernama Najadjibdja. Wedana
Cisondari bernama Den Wangsakoesoema. Demang Rajamandala bernama Mas
Wangsapraja, yang memimpin distrik Rajamandala. Wedana Ciparay bernama Rangga
Abukari. Wedana Majalaya bernama Den Rangga Anggawiredja, asal Parakanmuncang.
Jaksa di Majalaya, dan mengepalai kepolisian bernama Mas Djajadipa.
Wedana
Ujungberung bagian timur bernama Raden Raksamanggala. Wedana distrik Banjaran
bernama Den Satjanagara, bergelar Aria, dan menjabat dengan titel Aria
Satjanagara. Wedana distrik Cicalengka bernama Raden Anggadiredja putra Kanjeng
Bupati. Wedana Cimahi bernama Den Wiranagara putra Anggadinata, seorang mantan
Jaksa nagri Bandung yang kemudian diganti oleh Biskal Mangoennagara.
Wedana
Blubur Limbangan bernama Mas Arsaen. Wedana distrik Tarogong bernama Den
Raksadiraja. Wedana Cikembulan bernama Rangga Djajaredja, yang disayangi oleh
Asisten Residen. Wedana Lembang bernama Raden Ardikusuma, seorang menak berbudi
dan pintar, putra pertama Tumenggung Raden Adinagara yang berkantor di Bandung.
Residen di
Cianjur ketika itu adalah Tuan Van Der Kapellen. Bupati Cianjur bernama Kanjeng
Adipati Raden Prawiradiredja. Patih Cianjur bernama Den Natanagara.
Penghulu Cianjur bernama Moeh’mad Djen. Jaksa nagri Cianjur bernama Raden
Tisnadilaga. Komandan prajurit yang membawahi seratus prajurit bernama Raden
Soerianagara, putra Kanjeng Bupati. Sersan Prajurit seorang Belanda bernama
Tuan Gracman. Sersan Sunda bernama Djajengjoeda. Kopral bernama Ki Arsani.
Bis-kopral bernama Wangsakarama.
Gerakan
Karaman Raksaparadja
Raksaparadja
berasal dari nagri Majalengka. Berikrar turunan Wali. Orang Bandung
menyebutnya Ama Resi Raksaparadja, dipanggil Mah Resi. Kesehariannya mengajar
Ilmu Weduk dan Ilmu Sakti. Ilmu Jaya Kejayaan dan Ilmu Menghilang. Murid-murid
pun bertambah banyak, bahkan ada yang berasal dari menak nonoman di
dayeuh Bandung. Dia seorang guru yang sembunyi di Bandung. Kiai yang bertujuan
hasil materi. Pastinya tukang memperdaya membodohi para murid.
Raksaparadja
melamun. Berniat tidak baik. Membuat pemberontakan untuk menguasai nagri
Bandung. Membasmi semua menak agar duduk di kursi kekuasaan. Rencananya pergi
ke Selatan, disana ada Pasanggrahan yang strategis dijadikan benteng pertahanan
dan markas prajuritnya. Pasanggrahan berada di Gunung Tjajoer yang tinggi dan
datar, menghadap ke laut pesisir. Letak pasanggrahan berada di wilayah nagri
Cianjur, distrik Cidamar batas tanah Sukapura, dan Bungbulang sebagai batas nagri.
Tepatnya berada di kampung Cikawung.
Untuk menjalankan
rencananya, Raksaparadja menyamar sebagai Maha Resi. Bersama rombongan
pengikut, mereka berangkat malam hari dari Bandung. Berjalan kearah sisi Laut.
Melewati Pangalengan kemudian ke Caringin dan masuk ke Cisewu yang berada
dibawah distrik Cidamar.
Dalam setiap
perjalanan Raksapradja mengaku Maha Resi, seorang Pangeran Panembahan. Seorang
waliyullah yang kuat dan sakti. Mengaku Prabu Sang Ratu Halipatullah, Raja
Sunda yang adil. Masyarakat kecil daerah pesisir banyak yang tertarik bujuk
rayunya. Mereka tunduk dan taat. Harta benda pun diserahkan. Beras, ayam, Ikan
Laut dan Ikan darat, Kancil, dan Kijang.
Setelah
sampai, Raksaparadja dan para pengikutnya mulai mendirikan markas di tanah
datar yang menghadap ke laut. Rumah-rumah dibangun seperti keraton. Rumah para
penjaga berjajar, yang dikepalai oleh Senapati. Berderetan pengikut
Raksaparadja, Maha Wiku yang diagung-agungkan, dielu-elukan dengan sebutan Ratu
Sunda pemimpin nagri.
Para
pengikut sudah mencapai ratusan. Mereka berasal dari kampung-kampung, dari
dusun-dusun. Siang malam selalu berpesta makan-minum. Menjagal Kerbau yang
diambil dari tegalan orang lain. Menjarah padi dan beras. Tiap hari datang ke
kampung-kampung. Orang yang tidak setuju kabur dari kampungnya, sedangkan
mereka yang takluk diiring ke Pasanggrahan. Pasanggrahan menjadi sejahtera.
Tombak dan senjata siap sedia, hasil dari menjarah kampung. Peluru dibeli dari
Bandung oleh pengikutnya yang menyamar jadi pedagang.
Guru palsu
Raksapraja siang malam mengajarkan ilmu kesaktian kepada ratusan pengikut. Ilmu
kuat oleh senjata, ilmu agar kulit kuat oleh peluru. Semuanya hormat, sembah
sujud mengkultuskan Maha Resi, disebut Sinuhun Gusti.
Orang-orang
Desa yang ditaklukkan Raksaparadja berasal dari kampung Bantar Kamuning,
Cikaso, Cidaun, dan Pangalengan. Kepala kampung yang tidak takluk lalu kabur,
berjalan dan masuk ke Sindangbarang dan melaporkan hal tersebut ke petinggi
distrik.
Untuk
angkatan perang, Raksapraja melantik 10 Senopati. Yang pertama bernama Bapa
Kasman disebut Pangeran Génjreng. Kedua Bapa Isman disebut Pangeran
Bradjagelap. Ketiga Bapa Kainem disebut Pangeran Bradjaloemajoe. Keempat Aki
Santi disebut Pangeran Senapati. Kelima Pa Kainah disebut Pangeran
Bradjagantang. Keenam Aki Raiman disebut Pangeran Grantangtjoer’ga. Ketujuh
Bapa Raesin disebut Pangeran Ombaksagara. Kedelapan Bapa Alnam disebut Pangeran
Aria Bradjagéni. Kesembilan Bapa Ajoemah disebut Pangeran Poerbabaja. Kesepuluh
Bapa Hasim disebut Pangeran Oejoenglaoetan. Itulah sepuluh orang yang dijadikan
kepala prajurit.
……….
Pakean geus
diganti,
Baju hideung
laken sénting anoe aloes,
Sarta
dipasmenan emas
Dina
beuheung leungeun sami.
Calana lépas
kapalang,
Lakén
hideung jeung make samping batik,
Njoren
kerisna dipoengkoer,
Katoehoe
njoren gobang,
Ti kentjana
nya njoren deui balieung,
Langkung
ginding orang sisi
(Pangkoer)
Ambu Hawuk:
Ratu Prameswari Panembahan
Kampung
Bunihayu distrik Karang nagri Sukapura.
Dikisahkan
Ki Paninggaran Alikarama berburu Rusa dan Banteng di hutan. Di tengah hutan dia
menembak Banteng, tetapi tetap hidup tidak rubuh sampai kehabisan peluru.
Kemudian ditinggalkan Banteng itu. Dia pergi mencari perkampungan di daerah
sekitar hutan. Dilamunannya, semoga dia dapat bertemu seseorang yang mempunyai
peluru, karena tak habis pikir kenapa Banteng itu tidak dapat rubuh dan mati!
Pada suatu
kampung di distrik Karang.
Ki
Paninggaran Alikarama melihat seorang wanita cantik jelita sedang menenun.
“Maaf Nyai,
boleh ikut menumpang sekedar untuk istirahat dari rasa lelah?”
“Ooh,
silahkan!” jawab wanita tadi sambil melapangkan tikar, “kenapa Aki bisa sampai
ke tempat ini. Tersesat di tengah hutan?”
Sambil
istirahat Ki Paninggaran menjelaskan bahwa dia mau minta bantuan, jikalau Nyi
Mas punya timah atau bubuk besi yang tidak terpakai. Di hutan tadi dia menembak
Banteng tapi tidak rubuh sampai kehabisan peluru. “Kalau memang ada, Nyi Mas
mau jual berapa?”
Tanpa basa
basi, wanita itu masuk kedalam. Tak lama kemudian dia keluar menghampiri Ki
Paninggaran Alikarama sambil membawa wadah. Ki Paninggaran Alikarama kaget
tidak kepalang. Dengan tersentak. Sambil mata melotot kaget. Isi wadah itu
ternyata peluru yang dia tembakkan ke Banteng di hutan tadi! Heran.
“Pantas saja
Banteng tadi tidak roboh, karena memang tidak ada yang kena!”
“Semua
peluru ini memang kena ke tubuhku, tapi tidak ada yang menembus sedikitpun.
Hanya menempel ke kain kebaya dan baju,” jawab Nyi Mas tenang, “ lalu semua
peluru ini dikumpulkan. Sekarang silahkan ambil kembali semuanya. Sebab saya
tidak punya senapan. Silahkan ….!”
Dengan penuh
hormat dan kaget, Ki Paninggaran Alikarama segera mengambil semua pelurunya dan
segera pamit undur pulang.
“ Saya pamit
pulang, tapi sebelumnya…. Sebenarnya Nyi Mas ini siapa?”
“ Saya Ambu
Hawuk. Ini rumah saya. Tiap hari hanya bertani dan menenun sendirian.”
Ki
Paninggaran Alikarama segera pergi ke hutan dan meneruskan perburuannya.
Dengan hasil
buruan.
Ki
Paninggaran Alikarama bercerita tentang Nyi Ambu Hawuk yang kuat ditembak
peluru kepada teman-temannya. Dia yakin kalau wanita tersebut adalah wanita
sakti titisan Dewata. Lalu mengajak teman sekampung agar belajar berbagai
kesaktian. Berguru ilmu sihir pada Ambu Hawuk.
Datang dari
tiap kampung berbondong-bondong menemui Ambu Hawuk. Meminta agar sudi
mengangkat murid. Berbagai hadiah diserahkan, makan enak, uang banyak, daging
Ayam, daging Kambing dan sebagainya. Semuanya dihaturkan untuk Ambu Hawuk.
Hari
berganti hari. Tahun berganti tahun. Guru Ambu Hawuk semakin terkenal.
Buah bibir ditiap kampung. Didatangi berbagai orang. Semua berharap jadi
pengikutnya. Berguru ilmu kebal peluru. Berlatih ilmu sakti dan sihir.
Setelah
merasa jumlah murid cukup banyak. Guru Ambu Hawuk lalu mendatangi perkampungan
dan pedesaan. Semakin banyak kampung didatangi, bertambah pula murid dan
pengikut. Langkah perjalanan sampai di kampung Kolelega yang berada di bawah nagri
Bandung distrik Tarogong. Setelah banyak yang takluk dan berubah menjadi
pengikut setia, Ambu Hawuk mendengar bahwa ada satu kerajaan baru di pesisir
pantai. Di sana telah berkumpul sepuluh Pangeran, yang selalu setia kepada Sang
Pangeran Aria Raksaparadja.
Setelah
berunding dengan para pengikut, Ambu Hawuk sepakat untuk pergi ke Raksaparadja.
Para pengikut berjalan melalui kampung Cisurupan, kemudian ke Tegalpadung. Lalu
sampai ke tempat istana Raksaparadja.
Penjaga
benteng mengibarkan tanda. Benteng dadakan yang dibuat dari kayu dan bambu yang
diruncingkan. Ada tamu seorang Guru sakti Nyi Dewi Ambu Hawuk! Dengan seragam
dinas yang lengkap sepuluh Pangeran segera menyambut hormat.
“Putri
Dewata,.. silahkan segera masuk ke Istana!”
Setelah
masuk istana, Panembahan Raksaparadja segera menyambut dan mempersilahkan duduk
di tahta singgasana.
“Panembahan!
Hamba bersama para pengikut jauh-jauh datang kemari agar mendapat kemuliaan.
Kemuliaan dari Panembahan yang telah termasyhur di Pasundan. Raja penguasa
wilayah Sunda. Hamba ingin berserah ikut bergabung bersama Paduka!” Rayu Ambu
Hawuk.
Raksaparadja
sudah paham pada keinginan Ambu Hawuk. Segera dia dijadikan Ratu Prameswari
Panembahan, Nyai Ratu Sekar Datulaya, dipanggil Neng Dewi Sekar Kadaton.
Sementara di
tiap distrik …
Wedana
Cidamar mendapat laporan ada pemberontakan di pesisir pantai. Kepala Karaman
dikenal dengan nama Raksaparadja, dan istrinya Ambu Hawuk. Mereka memiliki
banyak prajurit. Telah diangkat sepuluh pangeran. Dibentuk para prajurit
yang saban hari diajarkan perang di Tegalan oleh para Senopati.
Segera
Wedana Cidamar melapor ke Bupati nagri Cianjur:
Telah ada
pemberontakan yang dikepalai Raksaparadja yang siap berperang. Dia datang dari nagri
Bandung, dari desa Regol. Dia berasal dari Majalengka, dan menjadi guru ilmu
sihir.
Segera
Wedana Bungbulang melapor ke Bupati nagri Sukapura:
Telah ada
pemberontakan yang dikepalai Raksaparadja yang siap berperang. Dia datang dari nagri
Bandung, dari desa Regol. Dia berasal dari Majalengka, dan menjadi guru ilmu
sihir.
Wedana
Banjaran Aria Satjanagara pun mendengar kabar adanya pemberontakan. Telah
banyak orang terpengaruh. Termasuk orang Pangalengan. Segera dia melapor ke
Bupati nagri Bandung.
Kepada
Bupati Bandung yang terhormat!
Telah ada
pemberontakan di sisi sagara Cidamar – Kandangwesi. Yang menjadi lurah
Karaman adalah Raksaparadja dari desa Regol, di sisi kota kraton Bupati.
Asalnya dari nagri Majalengka. Sekarang telah mengumpulkan wadia-balad.
Telah diangkat sepuluh senopati. Berita dari Polisi sépion gelap,
Pangeran Génjreng menjadi senopati, Pangeran Bradjagélap menjadi Tamtama,
Pangeran Bradjasakti, Pangeran Baradjagrantang, Pangeran Bradjagéni dan para
pangeran lainnya. Dan ada satu wanita, yaitu Ambu Hawuk, asalnya orang Karang
di bawah nagri Sukapura, dan telah menjadi istri permaisuri
Raksaparadja. Itulah berita dari Polisi Rahasia.
Sembah Sujud
….
Satjanagara
Wedana
Distrik Banjaran
Nagri Garut
Den Wadana
panembong oendjoekan roesoeh …
Ka garoet ka
Kanjeng Goesti …
Ka Dalem
Dipati Loehoeng …
Segera
Wedana Panembong melapor ke Bupati Garut:
Telah ada
pemberontakan yang dikepalai Raksaparadja yang siap berperang. Raksaparadja
datang dari nagri Bandung, dari desa Regol, yang asalnya adalah orang
Majalengka, dan menjadi guru ilmu sihir.
Kemudian
Bupati Garut pun segera memberikan berita ini kepada Bupati Sumedang. Sekarang
telah ada lima para Bupati tanah priangan yang mengetahui pemberontakan
Raksaparadja, yaitu: Bupati Cianjur, Bupati Bandung, Bupati Garut, Bupati
Sukapura, dan Bupati Sumedang.
Lalu Bupati
Garut segera mengumpulkan prajurit sebanyak enam puluh orang. Komandan prajurit
adalah Den Djajalogawa. Sersan Belanda di nagri Garut Tuan Hejbran.
Sersan Sunda yaitu Djajawigoena. Kopralnya bernama Suraniti. Biskopral bernama
Astawana. Lalu dikumpulkan juga dua puluh orang jagoan, yaitu Den
Danukoesoemah, Den Déndadilaga, Raden Wargadjibdja, dan Mas Djajasoeta.
Asisten-Residen nagri Garut ketika itu bernama Tuan Van Der Moere, yang
berpangkat Kashouder.
Dari Garut
telah sepakat untuk menghancurkan pemberontakan. Mereka berangkat mengarah ke
pesisir, mengambil jalan lewat Tegalpadung.
Nagri Cianjur
Ngotjapkeun
soerat noe hidji…
Lapor wadana
Tjidamar…
Geus
katjandak koe pagoesten…
Bupati
Cianjur, Kanjeng Dalem Aria Prawiradiredja sangat kaget mendengar laporan dari
Wedana Cidamar. Segera Raden Patih dipanggil. Wadia-balad dikumpulkan.
Alat-alat perang disiapkan, tombak, pedang, bedil, mimis, dan pistol.
Dalem Aria
Prawiradiredja unjuk hadir menghadap Tuan Van Der Kapellen di kantor
keresidenan. Menjelaskan perihal pemberontakan Raksaparadja. Seorang guru sihir
dari Bandung, orang desa Regol, asalnya orang Majalengka. Dengan semua murid
dan pengikutnya, telah diangkat 10 panglima perang. Mereka berasal dari
kampung-kampung dan orang pinggiran pantai. Siap berperang membuat kerusuhan.
“Terima
kasih, saya telah diberitahu. Sekarang Tuan Regent, silahkan bersiap sedia,
kumpulkan komandan dan para prajurit. Lalu kita tangkap para pemberontak di
pesisir Selatan!” kata Asisten Residen.
Lalu Residen
segera membuat laporan kepada pemerintah di Batawi. Dan membuat surat perintah
kepada para Bupati agar ikut serta memadamkan pemberontakan Raksaparadja.
Di
kebupatian Cianjur.
Patih Aria
Natanagara segera memerintahkan Ki Lengser agar memukul bénde di Paseban.
Mengumpulkan semua prajurit agar bersiap diri. Enam puluh prajurit disiapkan.
Kepala komandan bernama Raden Soerjanagara. Bersiap pula sersan, kopral.
Kemudian dipilih para jagoan ketika itu, diantaranya Raden Djajabrata, Ateng
Aliasgar, Abang Djereng, Abang Samirun, Ateng Widara, Raden Haji Ibrahim, Ateng
Alimoedin, dan lainnya.
Setelah
Asisten Residen Datang, Regent telah siap dengan pasukan. Diiringi para menak,
senopati, tamtama, dan rakyat Cianjur. Semua mulai pergi berperang.
Nagri Bandung
Kertapati
mawa surat …
Ti Bandjaran
langkoeng gasik …
Ka Bandung
harita dongkap …
Disanggakeun
ka Den Patih …
Ladjeng ka
Kandjeng Goesti …
Bupati
Bandung, Kanjeng Adipati Wiranata Kusuma kaget mendengar laporan itu.
Pemberontakan yang didalangi oleh orang di kota Bandung, tepatnya dari desa
Regol. Patih langsung diperintah menyiapkan wadia-balad. Lalu membuat surat ke
lima belas distrik di Bandung. Tak luput juga Ki Lengser Sawali yang memukul
bénde di Paseban, tanda semua prajurit harus berkumpul.
Bupati
Bandung segera menemui asisten Residen Nagel di Lodji. Mengabarkan ada laporan
dari distrik Banjaran tentang pemberontakan di daerah Selatan yang
dilakoni oleh orang Regol dari Bandung, Raksaparadja. Bermarkas di sisi pesisir
bawahan distrik Cidamar. Berbatasan dengan Kandangwesi. Nagel pun telah
mengetahui hal tersebut, karena datang pula surat Residen di Cianjur.
Di Paseban
telah berkumpul, Patih Bupati yang ditemani Demang Biskal Den Mangoennagara,
komandan Mertadiredja, Koemétir Raden Mandoerarédja, dan para pejabat lainnya:
Raden Sastranagara dan Kertakoesoemah. Setelah semua mengetahui perihal
pemberontakan Raksaparadja, kumpulan dibubarkan untuk mempersiapkan perbekalan
dan senjata.
Keesokan harinya,
prajurit telah berkumpul kembali. Para Wedana dari lima belas distrik telah
berdatang ke kota Bandung dengan senjata lengkap. Asisten Residen hadir, dan
Bupati memimpin di atas kudanya yang bernama Si Megantara.
Boom… meriam pun ditembakkan sebanyak salikur
(21) kali…
Rombongan
perang bergerak melalui jalan Banjaran, Cimaung, Cikalong, Pangalengan, lalu ke
Cidamar di Pantai Selatan. Sementara keraton di Bandung, yang tidak ikut serta
dan ditugaskan untuk menjaga nagri adalah Patih Aria Angga Adikoesoemah,
Raden Tumoenggoeng Adinagara, Juru Tulis Raden Natasoera, Asisor Bupati Raden
Natadiradja, dan seorang umbul dari distrik Leles Raden Soemadiparadja.
Nagri Sukapura
Ajeuna anoe
katjatoer …
Regen
Soekapoera tampi …
Serat lapor
ti Boengboelang …
Setelah
mendengar laporan dari Wedana Bungbulang, Bupati Sukapura menerima surat dari
Residen di Cianjur. Maka disiapkan empat puluh prajurit pilihan. Tetapi semua
prajurit tersebut diserang dengan tiba-tiba di tengah hutan. Semuanya hampir
mati, sebagian yang selamat lari ke nagri Sukapura melaporkan serangan
tersebut.
Maka dikirim
balabantuan dengan jumlah lebih banyak. Komandan parajuritnya adalah Wedana
distrik Taraju Ki Mas Rangga Dipawangsa, yang disertai dua orang putranya Mas
Nilasoeta seorang Sarapati di Manonjaya. Dan Mas Batawiria yang berpangkat
senopati.
Pengepungan
Panembahan Raksaparadja
Regent
Cianjur telah sampai ke tempat Raksaparadja, di Tegal di sisi sagara sebelah
Barat. Kemudian Residen segera memerintahkan untuk menyerang. Dari keraton
Raksaparadja pun balas menyerang. Saling tembak meriah. Lalu dari sebelah Timur
Datang wadia-balad dari Sukapura, lalu menyerang keraton Raksaparadja dari
sebelah Timur.
Dari sebelah
Utara datang pasukan Bandung. Lalu para prajurit bersiap. Perang pun dimulai di
sebelah Utara. Datang dari arah Tegalpadung pasukan Bupati Garut. Pasukan terus
merangkak perlahan. Saling tembak. Saling lempar tombak.
Mayat
bergelimpangan di keraton Raksaparadja. Yang masih hidup segera kabur. Yang
berhasil ditangkap, lalu diringkus. Yang kabur dikejar dan tertangkap di
semak-semak. Setelah berhari-hari kabur mereka letih tidak makan.
Raksaparadja
dan Ambu Hawuk pun berhasil kabur dengan lima belas pengikutnya, termasuk tiga
orang Pangeran. Mereka lari kearah Timur. Di hutan Tegalpadung rombongan
Raksaparadja bertemu dengan pasukan Sukapura pimpinan Wedana Taraju dan dua
putranya. Perang tanding berkecamuk. Saling banting. Saling tebas. Saling
pukul. Akhirnya sebagian rombongan Raksaparadja berhasil ditaklukkan, termasuk
tiga orang pangeran.
Pasukan dari
Cianjur berhasil menangkap Pangeran Baradjagelap, Pangeran Bradjagéni, Pangeran
Géndjreng, dan Pangeran Ombaksagari.
Para
pangeran ngaringkoek,
Djeung
baladna paraprajurit,
Pirang-pirang
anu beunang,
Koe balad
bandoeng kagodi,
Koe tjianjur
oge rea,
Ditalian
pageuh tarik,
( Kinanti )
Sergapan
Distrik Majalaya
Camat
Majalaya Wirakoesoemah dan pasukannya melakukan penyergapan di tengah Gunung
Wayang. Dekat hulu Citarum di sisi Cikundul. Gandek Camat bernama Bapa Kiar,
Pacalang bernama Bapa Marti dari Desa Ibun, Pacalang Desa Nengkelan Bapa
Sarwiém, dan Pacalang Ciburial bernama Bapa Djahid.
Datang
rombongan Raksaparadja.
Tjamat
ngomong he Karaman koedoe taloek…
Koe kami rek
ditjangkalak…
Maneh oelah
loempat deui …
Raksaparadja
menyerang Wirakoesoemah. Saling tebas pedang. Saling tangkis. Wirakoesoemah
terus diserang Raksaparadja. Bapa Kiar menarik Baju Mas Camat dan terus berada
di belakangnya. Bapa Sarwijém kena pukulan tak sadarkan diri. Kepala Bapa
Djahid pun terkena pukulan keras, lalu lari sempoyongan dan jatuh ke jurang.
Bapa Marti tertangkap oleh pasukan Raksaparadja, dibanting, ditarik dan
digusur.
Perang
tanding Raksaparadja dan Mas Wirakoesoemah semakin sengit. Raksaparadja tidak
kuat, lalu kabur. Camat hanya berhasil menangkap seorang yang bernama Pangeran
Gédoeghalimoen anak Ratna Dewi Ambu Hawuk, asal Karang. Camat sangat marah pada
gelagat tawanannya, lalu dicekik hingga rubuh. Bapa Kiar segera mengikat
tawanan itu.
Wirakoesoemah
membawa tawanan ke Pangalengan. Lalu menemui Bupati Bandung untuk melapor,
mulai dari penyergapan sampai ditangkapnya tawanan ini. Tawanan diperiksa oleh
Bupati. Lalu Camat menjelaskan bahwa tawanan ini bernama Pangeran
Gédoeghalimoen anak Ratna Dewi Ambu Hawuk, nama aslinya Madjasim asal Karang.
Dalem
Bandung sangat gembira. Lalu Wirakoesoemah diberi gelar kehormatan dan
keberanian yaitu Raden Raksanagara. Bapa Kiar diberi hadiah 25 bau sawah
dan harus pindah ke dayeuh Bandung. Sementara Bapa Djahid akhirnya bisa kembali
selamat setelah lari dari serangan pasukan Raksaparadja. Sementara Bapa Marti
yang tertangkap dibunuh oleh Raksaparadja di tengah Gunung.
Gugurnya
Petinggi Kancil Nalawangsa
Setelah
kewalahan melawan sergapan Wirakoesoemah, Raksaparadja, Ambu Hawuk, dan
pasukannya yang tersisa lari melalui Kolelega. Di Kolelega, Raksaparadja
disergap oleh Petinggi Kancil dan para polisi. Petinggi Kancil bernama
Nalawangsa. Kancil berada di distrik Wanakerta di bawah nagri Garut.
Kedua
pasukan bertemu. Perang tanding pun semakin sengit. Raksaparadja langsung
menyerang Petinggi Kancil. Saling tebas. Saling tangkis. Petinggi Kancil
terkepung pasukan Raksaparadja. Lalu mereka menyerang, menebas dengan keras
Petinggi Kancil. Tubuh Petinggi Kancil rusak berdarah. Sebagian teman-temannya
kalah dan kabur menyelamatkan diri. Nalawangsa akhirnya gugur.
Setelah
perang mulai selesai. Pasukan Raksaparadja langsung lari menelusuri gunung kearah
Timur. Bertujuan ke Majalengka. Di tengah jalan rombongan sementara bermarkas
dulu di puncak Gunung Galunggung.
Melihat
pasukan Raksaparadja telah pergi, mayat Petinggi Kancil Nalawangsa diambil oleh
teman-temannya. Dikubur ditempat gugurnya, di atas Gunung Daradjat. Kuburan itu
ada sampai sekarang.
Sok rea anoe
njalékar,
Ka Mas
Nalawangsa makam Patinggi,
Djalma satia
mitoehoe,
Kana
parentah menak,
Toeroeg2
maot sabil’oellah aloes,
Poepoes dina
pangpérangan,
Teu moendoer
doegi ka mati
Pasukan Nagri
Sumedang
Kotjap
kandjéng dalém Soemédang keur mégat…
Di
Tasikmlaja districk …
Geus sayagi
pisan …
Bupati
Sumedang dan para Wedana menjaga perbatasan Tasikmalaya. Dengan pasukan
bersenjata lengkap. Wedana Malangbong Raden Soerajoeda berjaga di distrik
Indihiang, ditemani Madhasan. Bersama Wedana Indihiang Mas Paranadita yang
dikawal Joedamanggala dari Cisayong.
Terdengar
kabar angin bahwa Camat Majalaya dan pasukannya telah mati ketika berperang
dengan Raksaparadja. Sebab Raksaparadja sangat sakti dan kuat. Malah Petinggi
Kancil telah terbunuh di Gunung Daradjat. Mendengar kabar itu, penduduk
Indihiang dan Tasik gempar dan khawatir. Semua harta benda disembunyikan.
Sebagian lalu mengungsi.
Bupati
Sumedang memerintahkan tiap distrik agar menenangkan masyarakat. Supaya tidak
takut. Harus berani membela. Setelah ditenangkan, rakyat pun menjadi berani
kembali ke rumah masing-masing.
Ditengah
ricuh dan tegang di distrik Indihiang.
Datang dua
orang dari nagri Kuningan berjalan melewati gunung-gunung. Ditengah
gunung yang sepi keduanya bertemu rombongan Raksaparadja yang sedang melarikan
diri dan bersembunyi di Gunung Galunggung. Mereka dirampok. Uang dan barang
dirampas. Lalu dibawa ke Raksaparadja yang sedang kelaparan. Mereka hanya
berbekal umbi-umbian, akar-akaran, dan pucuk bambu. Raksaparadja menyuruh
mereka berdua untuk turun ke desa sambil membawa uang, dan kembali dengan
membawa beras, garam, ikan, dan terasi. Karena takut, keduanya menuruti
keinginan sang Panembahan dan Putri Prameswari Dewi Hawuk.
Akhirnya
kedua orang Kuningan tadi sampai di kampung Cisayong. Kebetulan mereka bertemu
dengan Joemanggala. Keduanya ditanya:
“Kamu berdua
dari mana? Harus terus terang dengan benar! Ada perlu apa datang kepada kami.”
Tanya Joedamanggala.
“Kami berdua
diperintah Raksaparadja agar membeli makanan, beras, ikan, garam, dan terasi.
Ini uangnya berjumlah sepuluh rispis!” jawab mereka ketakutan.
Petinggi
Cisayong kaget tak kentara.
“Apakah itu
benar?”
“Mereka
berada di dataran puncak gunung Galunggung. Kepalanya bernama Raksaparadja.
Ditemani sepuluh orang termasuk istrinya Ambu Hawuk.”
Dengan penuh
gembira Petinggi segera menyuruh dua orang tersebut agar kembali ke
persembunyian Raksaparadja sambil membawa makanan pesanannya. Tapi ketika sampai,
agar diberitahukan bahwa di bawah sana ada tempat aman yang dihuni dua buah
rumah. Lalu mereka pamit.
Kemudian
Joedamanggala segera melapor ke Wedana Malangbong Den Soerajoeda dan Wedana
Indihiang Mas Paranadita. Mereka bersiap. Pasukan dan polisi dilengkapi dengan
senjata perang. Ketiga petinggi tersebut segera maju ditemani oleh para Lurah
dan petinggi lainnya.
Raksaparadja
setelah mendapatkan makanan yang enak-enak, tergiur berita dua orang tadi.
Dengan gembira rombongan turun gunung ke kampung Cisayong.
Di tengah
jalan yang agak sempit. Para Wedana, Petinggi, dan pasukan bersembunyi siap
menyergap. Ketika rombongan Raksaparadja tepat ke tempat itu. Pasukan langsung
menyerang. Raksaparadja langsung menebaskan pedang. Saling serang. Saling tangkis.
Pasukan Raksaparadja kewalahan. Kurang tenaga karena sekian lama berjalan.
Kurang makan dan istirahat membuat mereka kelelahan. Raksaparadja lemas. Tangan
kanannya terkena sabetan pedang Mas Patinggi. Darah bercucuran. Raksaparadja
diserang bertubi-tubi. Kali ini dadanya yang jadi incaran. Lalu dia melompat.
Sempoyongan. Lalu jatuh ke dalam jurang yang baru saja longsor.
Terguling-guling masuk lumpur di bawah jurang dengan luka yang menganga bekas
sabetan pedang Petinggi.
Pasukan
Raksaparadja pun tak kalah sengit menyerang pasukan Wedana. Seorang karaman
menyerang Wedana Soerajoeda. Saling banting saling tangkis. Akhirnya karaman
kalah terbunuh. Seorang karaman menyerang Wedana Paranadita, lalu ditebas
pinggang Karaman. Seorang karaman menyerang seorang Petinggi, lalu ditebas
leher karaman. Tiga mayat pun bergelimpangan.
Pasukan
Raksaparadja hanya tinggal lima orang, enam dengan Ambu Hawuk mereka
menyerah. Sementara yang kedelapan adalah dua orang Kuningan yang menjadi spion
polisi.
Semuanya
takluk. Ditangkap dan diborgol. Dua orang Kuningan dijadikan saksi untuk
memberikan keterangan, mereka berjasa karena menolong penangkapan rombongan
Raksaparadja.
Tawanan
diiring ke distrik Tasikmalaya. Dihadapkan ke Dalem Tasik. Dengan gembira,
Bupati memberikan gelar Rangga kepada dua orang cutak yang berjasa, lalu
jabatan dinaikkan menjadi Camat. Dua orang kuningan diberi hadiah uang seribu.
Lima ratus tiap-tiap orang. Keduanya bersyukur lalu pamit pulang.
Dalem
Tasikmalaya segera menulis laporan ke Residen di Cianjur, menerangkan pasukan
Raksaparadja telah ditangkap.
Surat
Rahasia Raksaparadja
Sebelum
terjadi penyerangan besar ke markas Raksaparadja, dia mengutus seorang karaman
untuk memberikan surat ke Patih Aria Angga Adikoesoemah dan Raden Djajakoesoemah.
Ditengah
hutan, karaman itu bertemu dengan pasukan nagri Bandung pimpinan Raden
Mértadiredja. Lalu karaman menghindar dan kabur. Melihat gelagat yang
mencurigakan, pasukan Raden Mértadiredja langsung mengejar. Karaman tertangkap.
Digusur. Digeledah. Surat yang disembunyikan pun jatuh ke tangan komandan.
Melihat surat tersebut, komandan memerintahkan agar karaman itu dijaga oleh
empat orang. Tangannya diborgol. Ketika perang berkecamuk, si karaman dijaga
dibelakang pasukan Raden Mértadiredja.
Lalu surat
rahasia diserahkan kepada Dalem Wiranatakoesoema yang sedang berada di pesisir
laut. Si karaman ditanya:
“Kamu
sebenarnya mau ke mana? Dan nama kamu siapa? Jawab yang benar! Jangan
berbohong!”
“Gusti Dalem,
rumah saya ada di dalam nagri Bandung, tepatnya di Regol. Nama saya
Mastawana. Sehari-hari saya mengikuti Raksaparadja. Saya ditugaskan ke
Bandung untuk memberikan surat kepada Patih Aria dan Jurutulis Raden
Djajakoesoemah.” Jawab karaman.
Kemudian
Dalem Bandung segera memberikan surat ini kepada Residen yang masih berada di
sisi Laut.
“Terima
kasih atas kesetiaan Komandan yang sudah mendapatkan surat rahasia. Kesetiaan
para Bupati sudah sangat terasa. Berhasil memadamkan pemberontakan sebelum
menjadi kerusuhan dan huru-hara di dalam negeri. Semua telah binasa dengan
kegagahan, kesetiaan, dan keperkasaan para Bupati.” Kata Residen.
“Sekarang
Patih Bandung dan Juru tulis harus segera dibuang. Segera bawa ke Cianjur
bersama dengan para pemberontak yang tertangkap. Dan sekarang semua silahkan
pulang ke nagri masing-masing dengan selamat!” lanjutnya.
Para Bupati,
para Wedana, para komandan, para prajurit, dengan semua tawanan dan harta
rampasan berbondong-bondong kembali ke nagri masing-masing. Di sisi laut
Kidul penuh dengan rombongan-rombongan. Ada yang ke Timur. Ke utara. Dan ke
Barat. Ada yang membawa rampasan. Yang terluka dan masih bernyawa diangkat
memakai tandu. Semua riuh ramai berteriak kemenangan.
Sambutan di
Dayeuh Bandung
Sementara di
dayeuh Bandung semua sibuk menyambut prajurit yang menang perang. Semua hiburan
disiapkan di Paseban. Makan siap dihidangkan. Semua gembira. Para menak senang
dengan kemenangan ini. Para petinggi sibuk menyambut Bupati dan pasukannya di
keraton.
Tetapi lain
hal dengan Raden Aria Patih dan Jurutulis. Mereka mendapat ilapat yang
tidak enak. Ada apa gerangan! Ibarat akan datang ajal dari Allah. Terdengar
kabar yang tidak enak. Membuat tidur susah hati gundah. Tapi semua adalah jalan
Yang Kuasa.
Setelah
Dalem Bandung dan Asisten Residen berada di keraton. Den Ayu Parameswara
menyambut kedatangan mereka. Makanan telah dihidangkan di atas meja.
Dipersilahkan duduk di atas alkétip, yang merupakan bagian dari adat
Sunda. Diluar Puri gamelan ditabuh. Goong Degung dimainkan. Tanjidor dimainkan
di babancong dayeuh. Salendro dimainkan oleh Réngit yang berasal dari Mataram.
Yang bernyanyi dengan indah adalah Nyi Pajo dari Bandung.
Semuanya
berpesta. Tak ada yang ketinggalan. Setiap hari pesta sampai setengah bulan
lamanya. Pesta nadar keselamatan.
Di lain
tempat.
Aria Patih
dipanggil oleh Dalem Bandung. Diperintah harus segera menghadap ke Residen di
Cianjur. Patih Aria Angga Adikoesoemah dan Raden Djajakoesoemah, dibawa ke
Cianjur dengan kawalan Tumenggung Raden Adinagara, mantri Raden Sastranagara,
dan Koemétir Raden Mandorarédja.
“Gusti
Dalem, sebenarnya ada gerangan apa hamba dipanggil ke Cianjur?”
“Saya tidak
tahu banyak. Lihat saja nanti di Cianjur, apa yang akan dikatakan Tuan Residen.
Yang pasti, kalau dipanggil pasti ada urusan. Jangan bertanya pada saya, Tanya
saja diri Aria Patih sendiri, sebenarnya apa yang sedang dirasakan!”
Dijawab
demikian, Raden Patih pamit sambil menangis meminta ampunan dari Kanjeng Dalem.
Arja Patih
njémbah bari nangis,
Doeh Padoeka
Goesti anoe moelja,
Njoehoenkeun
hapoentén géde,
Pangampura
disoehoen,
lépat abdi
goesti pamoegi
dampal Dalém
ngampoera,
ka abdi noe
loepoet,
kandjeng
Bopati ngandika,
koela sédja
hapoentén pisan ka Patih,
koemambang
Noe Kawasa,
(Dangdanggula)
Vonis Angga
Adikoesoemah
Kepulangan
Kanjeng Adipati Prawiradiredja dan Resisden disambut dengan meriah di
dalam kota. Meriam ditembakkan 25 kali. Kesenian Lisung, Karinding, dan Gamelan
ditabuh. Setelah perang menaklukkan pemberontakan, sambutan ini membuat para
prajurit bergembira.
Di satu
kesempatan.
Dalem
Prawiradiredja dan Tuan Residen sedang bersantai di Lodji. Lalu datang Patih
Bandung Angga Adikoesoemah yang dikawal oleh Sastranagara, Adinagara, dan Mandoediredja.
Lalu Patih Bandung diperiksa oleh Jaksa nagri Cianjur di depan Dalem
Cianjur dan Tuan Residen.
Setelah
pemeriksaan selesai. Surat dilayangkan untuk meminta keputusan Tuan Besar di
Batawi. Tak lama. Vonis pun telah turun. Patih Bandung dihukum buang ke Selong
selama dua puluh tahun. Angga Adikoesoemah berat menerima keputusan ini. Air
mata tak tertahankan. Perpisahan dengan anak istri tak terelakan. Jabatan
dicabut dengan tidak hormat. Dengan perih akan cobaan Angga Koesoemah
bermunajat:
………….
Ja Allah noe
Moelja,
sédja tobat
djisim abdi,
néda
dihampoera dosa
teu roemaos
djisim abdi gindi-pikir, hénteu owah niat, teu gadoeh dosa saeutik, piténah
Raksaparadja.
Dalah
Koemaha atoeh diri sim abdi, geus doegi ka goerat, teu rumasa gindi-pikir, naon
kaboektianana.
Amoeng
moega2 bae diri abdi, kenging kaslamétan, koe pitoeloengna Jang Widi, djeung
sapa’at Rasoe’oellah.
Soegan bae
djaga-djagana di akhir, aja pangbalésna, ka poetra-poetrana sami, diboeang
tjara kaoela,
Katarima koe
Gusti Jang Maha Soetji, soepata Aria, disaksian koe Jang Widi, sarawoeh koe
Malaikat.
(Maskumambang)
Pesta
Kemenangan di nagri Garut
Kotjapkeun
nagara Garoet,
Kandjeng dal
ém prantos tjoendoek
Kedatangan
pasukan nagri Garut disambut meriah. Dalem Garut dielu-elukan. Tuan
Kashouder, Tuan Van Dér Moer, dan pasukan beristirahat menikmati sambutan dari
rakyat Garut. Mereka bersukaria. Meriahkan kemenangan sebagaimana yang diadakan
di Bandung dan Cianjur.
Diceritakan
bahwa Tuan van der Moer selanjutnya diangkat sebagai Residen di nagri
Cianjur, kemudian dia pindah ke Bandung tepatnya di Cicendo. Para pemberontak
yang takluk dibelenggu. Lalu di penjara. Setelah itu mereka dikirim ke Cianjur.
Pesta di
alun-alun Garut dimeriahkan dengan pagelaran Ujung (oejoeng) yang sudah biasa
diadakan di Garut. Para pemain Ujung saling pukul dengan rotan. Ujung dimainkan
oleh laki-laki yang kuat dan berani, memakai pakaian yang bagus, dan memakai topeng
balakoetak. Topeng terbuat dari bahan kulit berwarna ungu, ada juga yang
berwarna hitam. Lalu dipakai di kepala dengan tali. Tali ditarik di Dagu (tali
ngangreud dina gado). Topeng balakoetak berwajah lucu. Bentuk topengnya
sangat bagus seperti topeng-topeng dari Wayang Golek. Pemain memakai celana Sontog.
Bajunya terbuat dari sutra yang berwarna hijau atau ungu dengan desain seperti
Joki kuda balap. Lalu ujung dimainkan dengan iringan gamelan. Para emain Ujung
mulai menari dengan gaya menantang lawanya. Kemudian mereka maju saling pukul.
Dengan rotan
sebesar jari. Pemain Ujung saling tebas. Saling pukul. Betis, Pinggang, tumit,
dan Punggung jadi sasaran. Setelah mulai saling pukul, suasana memanas, lalu
mereka menyerang menyergap lawannya. Perkelahian terjadi. Mereka saling dorong
sampai lawannya rubuh. Pemain yang rubuh artinya dia kalah. Setelah merasa
kalah, lawan langsung mundur dengan badan penuh memar biru bekas pukulan rotan.
Badan para pemain biasanya memar-memar sampai seminggu. Demikian kesenian Ujung
di Garut, sebagaimana halnya di Sumedang dan Sukapura. Hanya di Bandung dan
Cianjur saja yang tidak ada permainan ini.
Sejarahnya
Ujung dilarang dimainkan pada tahun 1871 M. Gubernur ketika itu tidak suka pada
seni Ujung, maka dibuat aturan baru yang melarang Ujung karena merupakan
kesenian yang tidak baik.
Sambutan
Kemenangan Orang Sukapura
Kanjeng
Dalem Sukapura dan pasukan telah datang ke alun-alun Sukapura. Semua
berbahagia. Senapati Wedana Taraju Ki Mas Rangga Dipawangsa dengan Kuda jantan
berwarna Abu-Putih dielu-elukan. Diiringi oleh Lurah Djoengdjang Karawat yang
lengkap dengan seragam kewedanaan dan dilengkapi Pedang Panjang di pinggang.
Demikian halnya dengan para pasukan lain yang dengan gagah menyambut sambutan
orang Sukapura. Ki Mas Nilasoeta dan adiknya Batawiria berjalan dengan gagah
merasa telah menang peperangan. Ketiga orang tersebut telah berperang adu
tanding di Tegalan melawan Pangeran Goentoersagara, Pangeran Genjreng, dan
Pangeran Ombaksagara. Mereka terluka tebasan ditubuh. Dibelenggu dan dipenjara
dengan terluka. Gelar pangeran sudah tidak pengaruh lagi. Kembali ke asal
dengan nama Bapa Radjiman, Bapa Kasman, dan Bapa Edeng.
Orang
Sukapura berdatangan ke alun-alun. Pesta berlangsung lima hari lima malam.
Kesenian Ronggeng, Ogel, Doger dan alat-alat kesenian ditabuh.
Pesta Orang
Sumedang
Kepulangan
Dalem Sumedang dan pasukan dari pemberantasan karaman disambut oleh orang
Sumedang dan para menak di alun-alun. Para Karaman banyak tertangkap oleh
pasukan Sumedang di daerah Indihiang.
Semua
karaman yang berhasil ditangkap oleh lima pasukan Kebupatian Garut, Bandung,
Cianjur, Sumedang, dan Sukapura dikirimkan ke keresidenan di Cianjur.
Vonis
Jurutulis
Raden
Djajakoesoemah telah berangkat dari Bandung ke Cianjur untuk menerima vonis.
Dibuang ke nagri Ambon selama dua puluh tahun. Hampir semua karaman pun
dihukum dua puluh tahun lamanya. Kecuali bagi Ambu Hawuk, hanya dihukum selama
lima tahun di Surabaya.
Jabatan
Patih Bandung diserahkan kepada Raden Adinagara, menjadi Aria Patih Bandung
Raden Adinagara. Jabatan Tumenggung kantor Bupati yang mengepalai Jurutulis
dijabat oleh Den Soemajoeda, yang asalnya sebagai jurutulis Koemétir
Mandoerarédja. Pengganti Djajakoesoemah adalah jurutulis Paseban yaitu
Satjakoesoemah.
Duapuluh
tahun kemudian …
Akhir cerita
setelah dua puluh tahun lamanya. Raden Angga Adikoesoemah bisa pulang kembali
ke dayeuh Bandung dengan selamat dan membawa seorang putra bernama Raden Djajamoestapa.
Istrinya yang dahulu, Raden Ayu Simbar putri Dalem Kaum, kakaknya Bupati
Bandung telah menikah kembali dengan mantan Biskal nagri yang bernama
Raden Anggadinata.
Sementara
Raden Djajakoesoemah tidak ada kabar berita setalah dibuang ke nagri
Ambon. Ambu Hawuk setelah lima tahun masa pembuangan, bisa kembali ke tempat
tinggalnya di distrik Karang hingga meninggal dunia.
Kitoe
hikajat karaman, anoe koe abdi katoengtik, sakitoe katranganana, sésahna
kaliwat saking, nja kenging bibirintik, ti sépoeh noe paos kalboe, noe langgéng
emoetanna, namoeng eta doeka teuing, lamoen lépat moega néda pangampoera.
Hapoentén ka
sadayana,
Ka noe ngaos
ka noe ngoeping,
Ieu wawatjan
karaman,
Kirang
atanapi leuwih
Ménggahing
dina dangding,
Moega sadaja
ngama’loem,
Kérsa
ngaleréskeunna,
Abdi sanes
toekang dangding,
Noe diadjar
ngarang the sabisa-bisa
Manawi djadi
mangfa’at, ka sadaya moerangkalih, terang tjarios karoehoenna, soegan aya anoe
hasil, pikeun misil ka diri, pieunteungen anoe hiroep, tamatna kole ngarangn,
Maart doea
ploeh opat jakti, Slapanwelas ratoes poeudjoel genepwelas.
( Sinom )
Cag!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar